Bank BPR Agra Dhana |
Manuel P Tampubolon mengatakan, sebelum dilaporkan Erlina ke Polresta Barelang tanggal 9 April 2016 pasal 374 jo 372 KUHPidana. Erlina mantan Direktur PT BPR Agra Dhana, sudah melakukan pembayaran sebagaimana yang dipaksakan oleh pihak Komisaris dan Direksi PT BPR Agra Dhana, membayar ratusan juta hasil temuan BPR Agra Dhana yang bukan menjadi tanggungjawab Erlina.
"Tahun 2015, Erlina sudah membayarkan dan menyelesaikan tanggung jawabnya sebesar Rp 929.853.879 kepihak BPR Agra Dhana," ujar Manuel P Tampubolon di Batam Center rumah makan Sanur, Selasa (3/7-2018).
Pembayaran tersebut pun, lanjutnya, sudah jauh melebihi dari apa yang harus dipertanggungjawabkan klienya. Bahkan kelebihan pembayaran tersebut, nilainya mencapai ratusan juta. Dan menurut keterangan penyidik, yang dipermasalahkan pihak PT BPR Agra Dhana (Pelapor), tambahan bunga tabungan, bukan dana pokok, karena dana pokok sudah tidak dipermasalahkan dan sudah diselesaikan.
Bahkan perbedaan perhitungan yang sangat fantastis. Temuan penyidik, bunga tabungan sebesar Rp 20 juta. Sementara tuntutan BPR Agra Dhana tambahan bunga tabungan sebeaar Rp 1.250 milliar lebih.
"Walaupun klienya sudah melakukan pembayaran mencapai ratusan juta lebih. Namun pihak PT BPR Agra Dhana tetap bersikeras untuk meminta tambahan buga tabungan. Karena merasa tertekan, klienya melakukan penawaran, dan bersedia membayar sebesar Rp 250 juta, tapi Komisaris dan Direksi tetap meminta uang sebesar tuntutanya Rp 1.250 miliar lebih. Sehingga klien saya diperas habis-habisan," tuturnya.
Anehnya lagi, kata Manuel P Tampubolon, tanggal 7 Desember 2016 klienya kembali dipanggil untuk datang ke Polresta Barelang Batam sebagai tersangka, surat panggilan itu tanggal 30 November 2016. Maka ada dugaan pihak Komisaris dan Direksi PT BPR Agra Dhana mengarah ketindak pidana pemerasan.
Proses hukum yang sudah lama ini, membuat Erlina tidak merasa tenang, dan selalu membayanginya. Namun dia (Erlina) selalu tetap tenang menghadapinya, karena dia merasa tidak bersalah, dan sudah melakukan pembayaran sebagaimana yang dituduhkan kepadanya.
"Sekarang ini Erlina masih di Batam, dan tidak lari menghadapi masalahnya ini, walaupun Erlina dalam proses penyidikan dan disangkakan pasal 374 jo 372 KUHPidana jo pasal 49 ayat (1) huruf a, b Undang-Undang Republik Indonesia No 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan," terang Manuel.
Setelah lama kasus ini berjalan, tambah Manuel, tiba-tiba surat pemberitahuan panggilan dari Polresta Barelang untuk pelimpahan P21 ke Kantor Kejaksaan Negeri Batam. Padahal, barang bukti selama penyidikan yang dutunjukkan oleh penyidik polisi Polresta Barelang hanya sebuah fhoto copi, dan tidak ada yang asli.
"Barang bukti tersangka hanya fhoto copi. Dan pas pemeriksaan klien saya waktu di BAP, klien saya hanya menjawab ketika penyidik dapat menghadirkan accounting," ujar Manuel.
"Putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan dalam sidang pleno, pada hari Rabu 11 Januari 2017 atas permohonan uji materi nomor perkara 130/PUU-XIII/2015, mengatakan, penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkanya surat perintah penyidikan," terangnya kembali.
Kemudian yang paling anehnya, ungkapnya, sejak keluarnya putusan MK, SPDP klienya ada dua. Jadi fakta terhadap kedua SPDP ini membuktikan bahwa penyidik tidak profesional. Kemudian Erlina ditetapkan sebagai tersangka penggelapan dalam jabatan.
"Kasus perkara klien saya ini, Polresta sudah saya surati sampai empat kali. Dan Polda Kepri Tiga kali," pungkasnya.
Terkait kasus perkara tersangka Erlina yang sudah di P21 oleh Kejaksaan Negeri Batam. Kasi Pidum Kejari Batam, Filpan FD Laia mengatakan, kasus perkara tersangka, kasus pidana murni.
"Pembuktian di pengadilan. Penyidik sebelum melakukan penyidikan pasti sudah punya alat bukti," jawab Filpan lewat WA.
Alfred
Posting Komentar