Kantor BP Batam (Foto: Is). |
"Perka BP Batam Nomor 3 Tahun 2020 telah menetapkan aturan melebihi apa yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan," kata Marulak J Simajuntak, Jumat (19/6-2020).
Kemudian, lanjutnya, bagian kelima dokumen pengalokasian lahan Pasal 23 ayat (1) Perka BP Batam nomor 3 tahun 2020 tentang penyelenggaraan pengelolaan lahan (halaman 14) berbunyi Dokumen pengalokasian lahan, meliputi surat Keputusan Pengalokasian Lahan, Faktur UWT, dan Surat Perjanjian Penggunaan Lahan (SPPL).
Pencantuman Surat Keputusan Pengalokasian Lahan dan Faktur UWT sebagai Dokumen Pengalokasian Lahan dalam Perka No. 3 Tahun 2020 tidak sesuai (melampaui) amanat yang disyaratkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara
dan Hak Pengelolaan pasal 4 ayat (2) (halaman 3).
"Pasal 4 ayat (2) berbunyi; Dalam hal tanah yang dimohonkan merupakan tanah Hak Pengelolaan. Pemohon harus terlebih dahulu memperoleh penunjukan berupa Perjanjian Penggunaan Tanah dari Pemegang Hak Pengelolaan," ujarnya.
Marulak Jhon Franki Simajuntak, S.H. |
"Ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pihak pemegang alokasi, walaupun mereka sudah memegang Surat Perjanjian Penggunaan Lahan (SPPL). Bahkan ada yang sudah dikeluarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang sudah dijamin kepemilikan lahan tersebut secara perdata," tuturnya.
"Kesimpangsiuran atas kepemilikan lahan di Batam harus dihindari dengan mencantumkan secara tegas bahwa Dokumen Pengalokasian Lahan adalah Surat Perjanjian Penggunaan Lahan (SPPL)," ungkapnya kembali.
Oleh karena itu, pungkasnya, dalam surat somasi kepada Kepala BP Batam, pasal 23 ayat 1 Perka 3 Tahun 2020 (halaman 14), harus direvisi menjadi “Dokumen Pengalokasian Lahan, meliputi Surat Perjanjian Penggunaan Lahan (SPPL)" dan Surat Keputusan Pengalokasian Lahan dan Faktur UWT bisa dijadikan sebagai lampiran SPPL dan ditambahkan dalam pasal 24 ayat 3 huruf l (halaman 14-15 Perka 3 Tahun 2020).
"Dan dalam Bab IV Kegiatan Evaluasi pasal 26 ayat (6) Perka BP Batam No. 3 Tahun 2020 (halaman 16) yang berbunyi “Pembatalan Alokasi Lahan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf d dan ayat (4) di atas, BP Batam menerbitkan Surat Keputusan Pembatalan Alokasi Lahan dan Surat Pemberitahuan Pembatalan Alokasi Lahan," tuturnya.
Hal ini, katanya, bisa menimbulkan ketidakpastian hukum bagi investor yang sudah membayarkan WTO dan sudah memegang SPPL bahkan ada yang sudah mengantongi SHGB.
Apabila ada maksud membatalkan Alokasi Lahan di atas lahan yang sudah diterbitkan SPPL dan atau SHGB, maka langkah yang harus di tempuh BP Batam adalah melalui musyawarah mufakat. Apabila secara musyawarah mufakat tidak tercapai, maka BP Batam harus menggugat Pembatalan SPPL ke Pengadilan Negeri Batam, sebagaimana yang tertuang dan yang disepakati para pihak dalam SPPL di bagian “Perselisihan”.
Adanya banyak perkara di PTUN yang menunjukkan kesemena-menaan dalam menerbitkan Surat Keputusan Pembatalan, menyebabkan ketidak pastian hukum atas pemanfaatan lahan di Batam, biaya ekonomi tinggi untuk mempertahankan lahan yang sudah dialokasikan kepada investor dan lahan menjadi terlantar selama periode berperkara yang mana tujuan menstimulasi dan membangun kota Batam menjadi tidak tercapai.
Surat somasi ini kami tembuskan kepada Ketua Dewan Kawasan (Menko Perekonomian), Kepala Kejaksaan Negeri Batam dan Kepala Perwakilan Ombudsman Kepri.
Redaksi